Dalam perjalanan hidup, Allah telah menetapkan berbagai hikmah yang mengajarkan manusia untuk senantiasa berada dalam keseimbangan antara harap dan cemas. Salah satu bentuk kasih sayang-Nya adalah dengan merahasiakan diterimanya sebuah amalan. Ini bukan tanpa sebab. Allah ingin agar hati manusia senantiasa merasa khawatir dan tidak cepat berpuas diri dengan amal ibadah yang dilakukan. Rasa cemas ini mendorong hamba untuk terus memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas amalnya.
Namun, di balik rasa khawatir itu, Allah juga selalu membuka pintu taubat selebar-lebarnya. Ini adalah bentuk lain dari kasih sayang-Nya, agar manusia tak pernah putus harapan. Meski telah banyak berbuat dosa, selama ruh belum sampai di tenggorokan, jalan kembali kepada-Nya masih terbuka. Ini mengajarkan kita untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah, karena pengampunan-Nya meliputi segala dosa, selama kita sungguh-sungguh bertaubat.
Yang lebih menggetarkan lagi, Allah menjadikan penentu status akhir seseorang pada amalan penutup hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa tak ada yang bisa membanggakan amal masa lalunya. Seorang yang tampak baik bisa tergelincir di akhir hidupnya, sementara yang tampak hina bisa menutup hidupnya dengan amal yang mulia. Maka, tidak pantas bagi manusia untuk tertipu dengan amalnya sendiri atau meremehkan orang lain.
Dalam sudut pandang yang lebih dalam, Allah juga mengingatkan bahwa ruh lebih berharga daripada raga. Jika raga lebih penting, tentu ia akan naik ke langit, namun faktanya, justru ruh yang naik, dan raga ditanam dalam tanah. Ini menjadi simbol bahwa nilai manusia terletak pada kedalaman spiritualnya, bukan pada penampilan fisiknya.
Kenyataan ini sering terlupakan dalam kehidupan modern yang begitu mengagungkan popularitas dan fisik. Padahal, banyak orang yang terkenal di bumi namun tak dikenal oleh penduduk langit, yakni para malaikat dan makhluk langit lainnya. Sebaliknya, banyak pula hamba Allah yang tersembunyi dari pandangan manusia, namun harum namanya di sisi Allah dan makhluk langit. Ini menunjukkan bahwa kemuliaan sejati di sisi Allah tidak diukur dari status sosial, ketenaran, atau fisik, melainkan dari takwa yang menghiasi hati.
Oleh karena itu, mari kita berhenti mengejar penilaian manusia, dan lebih fokus mengevaluasi kedudukan kita di sisi Allah. Apakah kita termasuk orang yang ikhlas, istiqamah, dan bertakwa? Ataukah kita hanya mengumpulkan pujian di dunia, namun kosong di hadapan-Nya?
Semoga kita senantiasa diberi keistiqamahan dalam amal baik, kerendahan hati untuk terus memperbaiki diri, dan kekuatan untuk senantiasa mengharapkan rahmat Allah, hingga akhir hayat kita ditutup dengan husnul khatimah.
0 comments:
Posting Komentar