Tampilkan postingan dengan label Islami. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islami. Tampilkan semua postingan

07 April 2025

Pandangan Islam terhadap Orang yang Bunuh Diri

Bunuh diri dipandang sebagai perbuatan yang sangat tercela dan termasuk dosa besar. Tindakan ini berarti seseorang mengakhiri hidupnya sendiri dengan sengaja, baik karena putus asa, tekanan batin, maupun rasa tidak mampu menghadapi ujian kehidupan. Padahal dalam Islam, kehidupan adalah amanah dari Allah SWT, dan hanya Allah yang berhak mencabut nyawa makhluk-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa: 29)

Tindakan bunuh diri bertentangan dengan prinsip dasar dalam Islam, yaitu menjaga jiwa (ḥifẓ al-nafs), yang merupakan salah satu dari lima tujuan utama syariat Islam. Rasulullah SAW juga menyampaikan ancaman keras bagi pelaku bunuh diri dalam sabdanya:

مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ، فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ، يَجَأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا
Barang siapa yang membunuh dirinya dengan besi (tajam), maka besi itu akan berada di tangannya dan dia akan menusuk-nusuk perutnya dengannya di neraka Jahannam, kekal di dalamnya selamanya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Meskipun demikian, para ulama menjelaskan bahwa pelaku bunuh diri tidak serta-merta keluar dari Islam jika ia meninggal dalam keadaan beriman, meski imannya lemah. Oleh karena itu, jenazahnya tetap dimandikan, dishalatkan, dan dikuburkan secara Islam. Namun, para pemuka agama atau tokoh masyarakat dianjurkan untuk tidak ikut menyalatinya sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat agar tidak menganggap remeh perbuatan tersebut.

Dalam menghadapi realitas kehidupan yang penuh tekanan dan ujian, Islam memberikan solusi melalui kekuatan spiritual. Ajaran Islam sangat kaya dengan nilai-nilai yang mampu menjaga ketenangan jiwa dan stabilitas mental. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. (QS. Ar-Ra’d: 28)

Zikir dan ibadah menjadi media terapi ruhani yang luar biasa. Shalat misalnya, bukan hanya kewajiban, tetapi juga waktu khusus untuk menenangkan diri dan berbicara langsung dengan Allah. Dzikir dan doa mampu menyejukkan hati yang gelisah. Membaca Al-Qur’an memberikan ketenangan pikiran dan arah hidup. Puasa melatih kesabaran dan menguatkan empati sosial. Prinsip tawakal, yaitu berserah diri kepada Allah setelah berikhtiar, membantu seseorang untuk tidak berlebihan dalam merasa gagal atau kecewa.

Keimanan kepada takdir juga berperan besar dalam membangun ketahanan mental. Orang yang percaya bahwa segala sesuatu sudah ditentukan Allah, lebih siap menerima cobaan dan tidak mudah terpuruk. Islam juga melarang putus asa, sebagaimana firman-Nya:

وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir. (QS. Yusuf: 87)

Selain itu, Islam sangat menekankan pentingnya hubungan sosial seperti ukhuwah Islamiyah dan silaturrahmi. Dukungan sosial dari lingkungan sekitar, keluarga, dan komunitas Muslim dapat menjadi penyangga emosional bagi seseorang yang sedang tertekan atau dalam kondisi mental yang lemah. Majelis ilmu, masjid, dan pertemanan yang baik bisa menjadi ruang aman untuk mencurahkan isi hati dan mendapatkan penguatan spiritual.

Islam juga menanamkan prinsip syukur dan sabar dalam menjalani hidup. Dua sikap ini mampu membentuk keseimbangan emosional yang kuat. Saat diberi nikmat, seseorang dianjurkan untuk bersyukur, dan ketika diuji, diajarkan untuk bersabar. Dengan begitu, seseorang akan lebih siap menghadapi dinamika kehidupan tanpa kehilangan kendali diri.

Pandangan Islam terhadap Orang yang Bunuh Diri

Pandangan Islam terhadap Orang yang Bunuh Diri

Bunuh diri dipandang sebagai perbuatan yang sangat tercela dan termasuk dosa besar. Tindakan ini berarti seseorang mengakhiri hidupnya sendiri dengan sengaja, baik karena putus asa, tekanan batin, maupun rasa tidak mampu menghadapi ujian kehidupan. Padahal dalam Islam, kehidupan adalah amanah dari Allah SWT, dan hanya Allah yang berhak mencabut nyawa makhluk-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa: 29)

Tindakan bunuh diri bertentangan dengan prinsip dasar dalam Islam, yaitu menjaga jiwa (ḥifẓ al-nafs), yang merupakan salah satu dari lima tujuan utama syariat Islam. Rasulullah SAW juga menyampaikan ancaman keras bagi pelaku bunuh diri dalam sabdanya:

مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ، فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ، يَجَأُ بِهَا فِي بَطْنِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا
Barang siapa yang membunuh dirinya dengan besi (tajam), maka besi itu akan berada di tangannya dan dia akan menusuk-nusuk perutnya dengannya di neraka Jahannam, kekal di dalamnya selamanya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Meskipun demikian, para ulama menjelaskan bahwa pelaku bunuh diri tidak serta-merta keluar dari Islam jika ia meninggal dalam keadaan beriman, meski imannya lemah. Oleh karena itu, jenazahnya tetap dimandikan, dishalatkan, dan dikuburkan secara Islam. Namun, para pemuka agama atau tokoh masyarakat dianjurkan untuk tidak ikut menyalatinya sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat agar tidak menganggap remeh perbuatan tersebut.

Dalam menghadapi realitas kehidupan yang penuh tekanan dan ujian, Islam memberikan solusi melalui kekuatan spiritual. Ajaran Islam sangat kaya dengan nilai-nilai yang mampu menjaga ketenangan jiwa dan stabilitas mental. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. (QS. Ar-Ra’d: 28)

Zikir dan ibadah menjadi media terapi ruhani yang luar biasa. Shalat misalnya, bukan hanya kewajiban, tetapi juga waktu khusus untuk menenangkan diri dan berbicara langsung dengan Allah. Dzikir dan doa mampu menyejukkan hati yang gelisah. Membaca Al-Qur’an memberikan ketenangan pikiran dan arah hidup. Puasa melatih kesabaran dan menguatkan empati sosial. Prinsip tawakal, yaitu berserah diri kepada Allah setelah berikhtiar, membantu seseorang untuk tidak berlebihan dalam merasa gagal atau kecewa.

Keimanan kepada takdir juga berperan besar dalam membangun ketahanan mental. Orang yang percaya bahwa segala sesuatu sudah ditentukan Allah, lebih siap menerima cobaan dan tidak mudah terpuruk. Islam juga melarang putus asa, sebagaimana firman-Nya:

وَلَا تَيْأَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ ۖ إِنَّهُ لَا يَيْأَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir. (QS. Yusuf: 87)

Selain itu, Islam sangat menekankan pentingnya hubungan sosial seperti ukhuwah Islamiyah dan silaturrahmi. Dukungan sosial dari lingkungan sekitar, keluarga, dan komunitas Muslim dapat menjadi penyangga emosional bagi seseorang yang sedang tertekan atau dalam kondisi mental yang lemah. Majelis ilmu, masjid, dan pertemanan yang baik bisa menjadi ruang aman untuk mencurahkan isi hati dan mendapatkan penguatan spiritual.

Islam juga menanamkan prinsip syukur dan sabar dalam menjalani hidup. Dua sikap ini mampu membentuk keseimbangan emosional yang kuat. Saat diberi nikmat, seseorang dianjurkan untuk bersyukur, dan ketika diuji, diajarkan untuk bersabar. Dengan begitu, seseorang akan lebih siap menghadapi dinamika kehidupan tanpa kehilangan kendali diri.

04 April 2025

Rahasia Amal, Harapan Taubat, dan Ukuran Kemuliaan di Sisi Allah

Dalam perjalanan hidup, Allah telah menetapkan berbagai hikmah yang mengajarkan manusia untuk senantiasa berada dalam keseimbangan antara harap dan cemas. Salah satu bentuk kasih sayang-Nya adalah dengan merahasiakan diterimanya sebuah amalan. Ini bukan tanpa sebab. Allah ingin agar hati manusia senantiasa merasa khawatir dan tidak cepat berpuas diri dengan amal ibadah yang dilakukan. Rasa cemas ini mendorong hamba untuk terus memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas amalnya.

Namun, di balik rasa khawatir itu, Allah juga selalu membuka pintu taubat selebar-lebarnya. Ini adalah bentuk lain dari kasih sayang-Nya, agar manusia tak pernah putus harapan. Meski telah banyak berbuat dosa, selama ruh belum sampai di tenggorokan, jalan kembali kepada-Nya masih terbuka. Ini mengajarkan kita untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah, karena pengampunan-Nya meliputi segala dosa, selama kita sungguh-sungguh bertaubat.

Yang lebih menggetarkan lagi, Allah menjadikan penentu status akhir seseorang pada amalan penutup hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa tak ada yang bisa membanggakan amal masa lalunya. Seorang yang tampak baik bisa tergelincir di akhir hidupnya, sementara yang tampak hina bisa menutup hidupnya dengan amal yang mulia. Maka, tidak pantas bagi manusia untuk tertipu dengan amalnya sendiri atau meremehkan orang lain.

Dalam sudut pandang yang lebih dalam, Allah juga mengingatkan bahwa ruh lebih berharga daripada raga. Jika raga lebih penting, tentu ia akan naik ke langit, namun faktanya, justru ruh yang naik, dan raga ditanam dalam tanah. Ini menjadi simbol bahwa nilai manusia terletak pada kedalaman spiritualnya, bukan pada penampilan fisiknya.

Kenyataan ini sering terlupakan dalam kehidupan modern yang begitu mengagungkan popularitas dan fisik. Padahal, banyak orang yang terkenal di bumi namun tak dikenal oleh penduduk langit, yakni para malaikat dan makhluk langit lainnya. Sebaliknya, banyak pula hamba Allah yang tersembunyi dari pandangan manusia, namun harum namanya di sisi Allah dan makhluk langit. Ini menunjukkan bahwa kemuliaan sejati di sisi Allah tidak diukur dari status sosial, ketenaran, atau fisik, melainkan dari takwa yang menghiasi hati.

Oleh karena itu, mari kita berhenti mengejar penilaian manusia, dan lebih fokus mengevaluasi kedudukan kita di sisi Allah. Apakah kita termasuk orang yang ikhlas, istiqamah, dan bertakwa? Ataukah kita hanya mengumpulkan pujian di dunia, namun kosong di hadapan-Nya?

Semoga kita senantiasa diberi keistiqamahan dalam amal baik, kerendahan hati untuk terus memperbaiki diri, dan kekuatan untuk senantiasa mengharapkan rahmat Allah, hingga akhir hayat kita ditutup dengan husnul khatimah.

Rahasia Amal, Harapan Taubat, dan Ukuran Kemuliaan di Sisi Allah

Rahasia Amal, Harapan Taubat, dan Ukuran Kemuliaan di Sisi Allah

Dalam perjalanan hidup, Allah telah menetapkan berbagai hikmah yang mengajarkan manusia untuk senantiasa berada dalam keseimbangan antara harap dan cemas. Salah satu bentuk kasih sayang-Nya adalah dengan merahasiakan diterimanya sebuah amalan. Ini bukan tanpa sebab. Allah ingin agar hati manusia senantiasa merasa khawatir dan tidak cepat berpuas diri dengan amal ibadah yang dilakukan. Rasa cemas ini mendorong hamba untuk terus memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas amalnya.

Namun, di balik rasa khawatir itu, Allah juga selalu membuka pintu taubat selebar-lebarnya. Ini adalah bentuk lain dari kasih sayang-Nya, agar manusia tak pernah putus harapan. Meski telah banyak berbuat dosa, selama ruh belum sampai di tenggorokan, jalan kembali kepada-Nya masih terbuka. Ini mengajarkan kita untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah, karena pengampunan-Nya meliputi segala dosa, selama kita sungguh-sungguh bertaubat.

Yang lebih menggetarkan lagi, Allah menjadikan penentu status akhir seseorang pada amalan penutup hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa tak ada yang bisa membanggakan amal masa lalunya. Seorang yang tampak baik bisa tergelincir di akhir hidupnya, sementara yang tampak hina bisa menutup hidupnya dengan amal yang mulia. Maka, tidak pantas bagi manusia untuk tertipu dengan amalnya sendiri atau meremehkan orang lain.

Dalam sudut pandang yang lebih dalam, Allah juga mengingatkan bahwa ruh lebih berharga daripada raga. Jika raga lebih penting, tentu ia akan naik ke langit, namun faktanya, justru ruh yang naik, dan raga ditanam dalam tanah. Ini menjadi simbol bahwa nilai manusia terletak pada kedalaman spiritualnya, bukan pada penampilan fisiknya.

Kenyataan ini sering terlupakan dalam kehidupan modern yang begitu mengagungkan popularitas dan fisik. Padahal, banyak orang yang terkenal di bumi namun tak dikenal oleh penduduk langit, yakni para malaikat dan makhluk langit lainnya. Sebaliknya, banyak pula hamba Allah yang tersembunyi dari pandangan manusia, namun harum namanya di sisi Allah dan makhluk langit. Ini menunjukkan bahwa kemuliaan sejati di sisi Allah tidak diukur dari status sosial, ketenaran, atau fisik, melainkan dari takwa yang menghiasi hati.

Oleh karena itu, mari kita berhenti mengejar penilaian manusia, dan lebih fokus mengevaluasi kedudukan kita di sisi Allah. Apakah kita termasuk orang yang ikhlas, istiqamah, dan bertakwa? Ataukah kita hanya mengumpulkan pujian di dunia, namun kosong di hadapan-Nya?

Semoga kita senantiasa diberi keistiqamahan dalam amal baik, kerendahan hati untuk terus memperbaiki diri, dan kekuatan untuk senantiasa mengharapkan rahmat Allah, hingga akhir hayat kita ditutup dengan husnul khatimah.

28 Maret 2025

Makna Hari Raya Lebaran

Hari Raya Idulfitri atau Lebaran adalah momen penuh makna yang sangat dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia. Lebaran tidak sekadar identik dengan pakaian baru, makanan lezat, atau libur panjang, melainkan menyimpan pesan spiritual, sosial, dan kemanusiaan yang sangat dalam. Berikut adalah beberapa makna penting dari Hari Raya Lebaran yang perlu kita renungkan.

1. Kemenangan Melawan Hawa Nafsu

Setelah menjalani puasa Ramadan selama sebulan penuh, Idulfitri hadir sebagai bentuk kemenangan spiritual. Ini adalah momen untuk merayakan keberhasilan menahan diri dari hawa nafsu, memperbanyak ibadah, dan memperkuat keimanan.

Allah Swt. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183)

Melalui puasa, kita belajar tentang ketekunan, kesabaran, dan pengendalian diri. Maka, Idulfitri menjadi simbol kemenangan pribadi atas godaan duniawi.

2. Kembali ke Fitrah (Kesucian)

Secara bahasa, Idulfitri berarti "kembali kepada fitrah" atau kesucian. Setelah melewati Ramadan dengan penuh ketaatan, umat Islam diharapkan kembali menjadi pribadi yang bersih, sebagaimana bayi yang baru dilahirkan. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barang siapa yang berpuasa Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah hakikat Idulfitri: momen pembersihan jiwa dan awal kehidupan yang lebih baik.

3. Menguatkan Silaturahmi dan Memaafkan

Tradisi saling bermaafan menjadi ciri khas Lebaran di Indonesia. Ucapan mohon maaf lahir dan batin menjadi wujud nyata dari semangat memperbaiki hubungan dan membersihkan hati dari dendam atau kesalahan masa lalu. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ

Tidak akan masuk surga orang yang memutus tali silaturahmi. (HR. Bukhari dan Muslim)

Lebaran adalah momen tepat untuk menjalin kembali hubungan yang sempat renggang, baik dengan keluarga, tetangga, maupun sahabat.

4. Menumbuhkan Kepedulian Sosial melalui Zakat Fitrah

Salah satu kewajiban sebelum menunaikan salat Idulfitri adalah membayar zakat fitrah. Ini adalah bentuk perhatian terhadap saudara-saudara kita yang kurang mampu, agar mereka juga bisa merasakan kebahagiaan di hari raya. Rasulullah ﷺ bersabda:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata kotor, serta sebagai makanan bagi orang miskin. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Zakat fitrah memperkuat pesan bahwa Islam adalah agama yang menumbuhkan kepedulian dan kebersamaan sosial.

5. Momen Kebahagiaan dan Syukur

Lebaran adalah hari kegembiraan yang dirayakan dengan penuh suka cita. Mengenakan pakaian terbaik, berkumpul dengan keluarga, menyantap makanan khas, semuanya menjadi bagian dari ungkapan syukur atas nikmat Allah. Allah Swt. berfirman:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangan (puasa Ramadan), dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah: 185)

Idulfitri menjadi ruang untuk mengekspresikan kebahagiaan yang dilandasi oleh rasa syukur dan ketakwaan.

Dengan demikian dapat kita pahami bahwa hari raya Idulfitri bukan sekadar tradisi tahunan, tetapi momen sakral untuk kembali kepada Allah dengan hati yang bersih, mempererat ukhuwah Islamiyah, dan meningkatkan kepedulian terhadap sesama. Mari kita jadikan Lebaran sebagai titik awal untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi lingkungan sekitar.

تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ، كُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ

Selamat Hari Raya Idulfitri 1446 H
Mohon maaf lahir dan batin.

Makna Hari Raya Lebaran: Kemenangan, Kesucian, dan Kebersamaan

Makna Hari Raya Lebaran

Hari Raya Idulfitri atau Lebaran adalah momen penuh makna yang sangat dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia. Lebaran tidak sekadar identik dengan pakaian baru, makanan lezat, atau libur panjang, melainkan menyimpan pesan spiritual, sosial, dan kemanusiaan yang sangat dalam. Berikut adalah beberapa makna penting dari Hari Raya Lebaran yang perlu kita renungkan.

1. Kemenangan Melawan Hawa Nafsu

Setelah menjalani puasa Ramadan selama sebulan penuh, Idulfitri hadir sebagai bentuk kemenangan spiritual. Ini adalah momen untuk merayakan keberhasilan menahan diri dari hawa nafsu, memperbanyak ibadah, dan memperkuat keimanan.

Allah Swt. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183)

Melalui puasa, kita belajar tentang ketekunan, kesabaran, dan pengendalian diri. Maka, Idulfitri menjadi simbol kemenangan pribadi atas godaan duniawi.

2. Kembali ke Fitrah (Kesucian)

Secara bahasa, Idulfitri berarti "kembali kepada fitrah" atau kesucian. Setelah melewati Ramadan dengan penuh ketaatan, umat Islam diharapkan kembali menjadi pribadi yang bersih, sebagaimana bayi yang baru dilahirkan. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Barang siapa yang berpuasa Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah hakikat Idulfitri: momen pembersihan jiwa dan awal kehidupan yang lebih baik.

3. Menguatkan Silaturahmi dan Memaafkan

Tradisi saling bermaafan menjadi ciri khas Lebaran di Indonesia. Ucapan mohon maaf lahir dan batin menjadi wujud nyata dari semangat memperbaiki hubungan dan membersihkan hati dari dendam atau kesalahan masa lalu. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ

Tidak akan masuk surga orang yang memutus tali silaturahmi. (HR. Bukhari dan Muslim)

Lebaran adalah momen tepat untuk menjalin kembali hubungan yang sempat renggang, baik dengan keluarga, tetangga, maupun sahabat.

4. Menumbuhkan Kepedulian Sosial melalui Zakat Fitrah

Salah satu kewajiban sebelum menunaikan salat Idulfitri adalah membayar zakat fitrah. Ini adalah bentuk perhatian terhadap saudara-saudara kita yang kurang mampu, agar mereka juga bisa merasakan kebahagiaan di hari raya. Rasulullah ﷺ bersabda:

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ

Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata kotor, serta sebagai makanan bagi orang miskin. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Zakat fitrah memperkuat pesan bahwa Islam adalah agama yang menumbuhkan kepedulian dan kebersamaan sosial.

5. Momen Kebahagiaan dan Syukur

Lebaran adalah hari kegembiraan yang dirayakan dengan penuh suka cita. Mengenakan pakaian terbaik, berkumpul dengan keluarga, menyantap makanan khas, semuanya menjadi bagian dari ungkapan syukur atas nikmat Allah. Allah Swt. berfirman:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangan (puasa Ramadan), dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah: 185)

Idulfitri menjadi ruang untuk mengekspresikan kebahagiaan yang dilandasi oleh rasa syukur dan ketakwaan.

Dengan demikian dapat kita pahami bahwa hari raya Idulfitri bukan sekadar tradisi tahunan, tetapi momen sakral untuk kembali kepada Allah dengan hati yang bersih, mempererat ukhuwah Islamiyah, dan meningkatkan kepedulian terhadap sesama. Mari kita jadikan Lebaran sebagai titik awal untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi lingkungan sekitar.

تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ، كُلُّ عَامٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ

Selamat Hari Raya Idulfitri 1446 H
Mohon maaf lahir dan batin.

27 Maret 2025

Renungan dari Nasihat Imam Al-Ghazali

Dalam kehidupan yang serba cepat dan sibuk ini, seringkali kita merasa kosong, hampa, bahkan jauh dari kedamaian hati. Kita menjalani hari demi hari, namun ada satu yang terasa hilang: ketenangan jiwa dan kehadiran hati. Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar dan ahli tasawuf, pernah memberikan sebuah nasihat yang sangat dalam untuk mereka yang merasa hatinya mati atau keras.

    ابْحَثْ عَنْ قَلْبِكَ فِي ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ: فِي الصَّلَاةِ، وَعِنْدَ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، وَفِي ذِكْرِ الْمَوْتِ.

    فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِي هَذِهِ الْمَوَاضِعِ، فَاسْأَلِ اللَّهَ أَنْ يَمُنَّ عَلَيْكَ بِقَلْبٍ، فَإِنَّهُ لَا قَلْبَ لَكَ.

Carilah hatimu di tiga tempat: dalam shalat, saat membaca Al-Qur’an, dan ketika mengingat kematian. Jika engkau tidak menemukannya di sana, maka mohonlah kepada Allah agar Dia memberimu hati, karena sungguh engkau tidak memiliki hati.

1. Dalam Shalat

Shalat adalah tempat terdekat seorang hamba dengan Rabb-nya. Shalat yang khusyuk akan menghidupkan hati dan menyadarkan kita akan hakikat kehambaan. Jika dalam shalat kita tidak merasa apa-apa, maka itu pertanda hati kita butuh dibersihkan.

    قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ۝ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

  Sungguh beruntung orang-orang beriman, (yaitu) yang khusyuk dalam shalatnya. (QS. Al-Mu’minun: 1–2)

2. Saat Membaca Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah petunjuk dan obat bagi hati. Namun, jika kita membaca Al-Qur’an tanpa rasa, tanpa getar, tanpa makna, maka boleh jadi hati kita sedang sakit. Membaca Al-Qur’an seharusnya membangkitkan rasa takut, harap, dan cinta kepada Allah.

    اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik, yaitu Al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabb-nya.  (QS. Az-Zumar: 23)

3. Ketika Mengingat Kematian

Kematian adalah nasihat terbesar. Mengingatnya menyadarkan kita akan kefanaan dunia dan mendorong kita untuk memperbaiki amal sebelum terlambat. Bila hati tak juga tergetar saat mengingat kematian, itu tanda bahaya spiritual.

    أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ: الْمَوْتَ

    Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan: yaitu kematian. (HR. Tirmidzi)

Jika dalam ketiga tempat tersebut hati tetap tidak hadir, Imam Al-Ghazali menganjurkan untuk memohon kepada Allah agar diberikan hati yang hidup. Karena hati yang mati tidak akan bisa merasakan cahaya iman dan petunjuk.

    يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ ۝ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

Pada hari di mana harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih (qalbun salīm). (QS. Asy-Syu‘ara: 88–89)
Semoga Allah melembutkan hati kita, menghidupkannya dengan dzikir, dan menjadikannya hati yang selalu rindu untuk dekat dengan-Nya.

Mencari Hati yang Hidup: Renungan dari Nasihat Imam Al-Ghazali

Renungan dari Nasihat Imam Al-Ghazali

Dalam kehidupan yang serba cepat dan sibuk ini, seringkali kita merasa kosong, hampa, bahkan jauh dari kedamaian hati. Kita menjalani hari demi hari, namun ada satu yang terasa hilang: ketenangan jiwa dan kehadiran hati. Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar dan ahli tasawuf, pernah memberikan sebuah nasihat yang sangat dalam untuk mereka yang merasa hatinya mati atau keras.

    ابْحَثْ عَنْ قَلْبِكَ فِي ثَلَاثَةِ مَوَاضِعَ: فِي الصَّلَاةِ، وَعِنْدَ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، وَفِي ذِكْرِ الْمَوْتِ.

    فَإِنْ لَمْ تَجِدْهُ فِي هَذِهِ الْمَوَاضِعِ، فَاسْأَلِ اللَّهَ أَنْ يَمُنَّ عَلَيْكَ بِقَلْبٍ، فَإِنَّهُ لَا قَلْبَ لَكَ.

Carilah hatimu di tiga tempat: dalam shalat, saat membaca Al-Qur’an, dan ketika mengingat kematian. Jika engkau tidak menemukannya di sana, maka mohonlah kepada Allah agar Dia memberimu hati, karena sungguh engkau tidak memiliki hati.

1. Dalam Shalat

Shalat adalah tempat terdekat seorang hamba dengan Rabb-nya. Shalat yang khusyuk akan menghidupkan hati dan menyadarkan kita akan hakikat kehambaan. Jika dalam shalat kita tidak merasa apa-apa, maka itu pertanda hati kita butuh dibersihkan.

    قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ ۝ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ

  Sungguh beruntung orang-orang beriman, (yaitu) yang khusyuk dalam shalatnya. (QS. Al-Mu’minun: 1–2)

2. Saat Membaca Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah petunjuk dan obat bagi hati. Namun, jika kita membaca Al-Qur’an tanpa rasa, tanpa getar, tanpa makna, maka boleh jadi hati kita sedang sakit. Membaca Al-Qur’an seharusnya membangkitkan rasa takut, harap, dan cinta kepada Allah.

    اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik, yaitu Al-Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabb-nya.  (QS. Az-Zumar: 23)

3. Ketika Mengingat Kematian

Kematian adalah nasihat terbesar. Mengingatnya menyadarkan kita akan kefanaan dunia dan mendorong kita untuk memperbaiki amal sebelum terlambat. Bila hati tak juga tergetar saat mengingat kematian, itu tanda bahaya spiritual.

    أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَادِمِ اللَّذَّاتِ: الْمَوْتَ

    Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan: yaitu kematian. (HR. Tirmidzi)

Jika dalam ketiga tempat tersebut hati tetap tidak hadir, Imam Al-Ghazali menganjurkan untuk memohon kepada Allah agar diberikan hati yang hidup. Karena hati yang mati tidak akan bisa merasakan cahaya iman dan petunjuk.

    يَوْمَ لَا يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ ۝ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ

Pada hari di mana harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih (qalbun salīm). (QS. Asy-Syu‘ara: 88–89)
Semoga Allah melembutkan hati kita, menghidupkannya dengan dzikir, dan menjadikannya hati yang selalu rindu untuk dekat dengan-Nya.

10 Maret 2025

Tiga Doa Malaikat Jibril yang Diaminkan Rasulullah

Suatu ketika, Rasulullah SAW menaiki mimbar. Saat beliau menginjak anak tangga pertama, beliau mengucapkan aamiin. Ketika naik ke tangga kedua, beliau kembali mengucapkan amin. Lalu, pada tangga ketiga, beliau mengulanginya lagi, aamiin.

Para sahabat yang menyaksikan kejadian ini merasa penasaran. Salah seorang dari mereka bertanya,

Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengucapkan aamiin tiga kali. Apa yang terjadi?

Rasulullah saw. kemudian menjelaskan bahwa ketika beliau menaiki mimbar, Jibril datang dan berdoa. Setiap doa yang diucapkan Jibril, Rasulullah SAW mengaminkannya.

  1. Doa Pertama

    شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ رَمَضَانَ، فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ

    Celakalah seseorang yang mendapatkan bulan Ramadhan, namun Ramadhan berlalu tanpa ia mendapatkan ampunan dari Allah.

    Maka Rasulullah saw. mengucapkan aamiin.

  2. Doa Kedua

    شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ

    Celakalah seseorang yang masih memiliki kedua orang tua, atau salah satunya, namun tidak menjadikannya sebagai jalan masuk ke surga.

    Maka Rasulullah saw. mengucapkan aamiin

  3. Doa Ketiga

    شَقِيَ عَبْدٌ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ

    Celakalah seseorang yang mendengar namamu disebut, tetapi ia tidak bershalawat kepadamu.

    Maka Rasulullah saw. mengucapkan aamiin

Hadis di atas mengajarkan kita tentang tiga hal penting dalam kehidupan:

  1. Memanfaatkan Ramadhan sebagai kesempatan emas untuk mendapatkan ampunan Allah.
  2. Berbakti kepada orang tua sebagai jalan menuju surga.
  3. Membiasakan diri bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk kecintaan kepadanya.

1. Pentingnya Memanfaatkan Ramadhan untuk Meraih Ampunan Allah

Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan rahmat dan maghfirah. Allah SWT telah menjadikannya sebagai waktu istimewa di mana pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183)

Namun, banyak orang yang melewatkan bulan ini tanpa meraih ampunan karena lalai dalam ibadah. Mereka hanya menjalankan puasa sebagai rutinitas, tidak meningkatkan amal saleh, dan tetap melakukan perbuatan maksiat.

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

(arang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari & Muslim)

Maka, jika seseorang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan, sungguh ia adalah orang yang sangat merugi.

2. Berbakti kepada Orang Tua sebagai Jalan ke Surga

Orang tua adalah anugerah yang besar dalam hidup kita. Rasulullah saw. bersabda:

رِضَا اللَّهِ فِي رِضَا الْوَالِدِ وَسَخَطُ اللَّهِ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ

Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka orang tua. (HR. Tirmidzi)

Berbakti kepada orang tua tidak hanya dengan memberi nafkah, tetapi juga dengan berkata lembut, menjaga perasaan mereka, dan selalu mendoakan mereka. Jika seseorang masih memiliki orang tua tetapi tidak berbakti kepada mereka, maka ia telah menyia-nyiakan pintu surga yang ada di hadapannya.

Rasulullah SAW bersabda:

الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوِ احْفَظْهُ

Orang tua adalah pintu surga yang paling tengah. Jika engkau mau, sia-siakanlah pintu itu, atau jika engkau mau, jagalah ia. (HR. Tirmidzi)

Jika orang tua masih hidup, perbanyaklah berbakti. Jika mereka telah tiada, tetaplah mendoakan mereka dan bersedekah atas nama mereka.

3. Keutamaan Bershalawat kepada Nabi Muhammad saw

Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepadanya dan ucapkanlah salam penghormatan. (QS. Al-Ahzab: 56)

Namun, ada orang yang ketika mendengar nama Rasulullah saw. disebut, ia tidak bershalawat. Ini menunjukkan kurangnya rasa cinta kepada beliau.

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا

Barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali lipat. (HR. Muslim)

Oleh karena itu, biasakanlah bershalawat setiap kali mendengar nama Rasulullah saw. disebut sebagai bentuk penghormatan dan kecintaan kepada beliau.

Tiga doa ini menjadi pengingat besar bagi kita semua:

  1. Jangan sia-siakan Ramadhan, gunakan untuk beribadah dan meraih ampunan Allah.
  2. Berbakti kepada orang tua, karena mereka adalah pintu surga bagi kita.
  3. Selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai tanda cinta dan penghormatan kita kepada beliau.

Semoga kita semua terhindar dari doa kecelakaan ini dan menjadi hamba yang mendapatkan rahmat Allah SWT.

Tiga Doa Malaikat Jibril yang Diaminkan Rasulullah

Tiga Doa Malaikat Jibril yang Diaminkan Rasulullah

Suatu ketika, Rasulullah SAW menaiki mimbar. Saat beliau menginjak anak tangga pertama, beliau mengucapkan aamiin. Ketika naik ke tangga kedua, beliau kembali mengucapkan amin. Lalu, pada tangga ketiga, beliau mengulanginya lagi, aamiin.

Para sahabat yang menyaksikan kejadian ini merasa penasaran. Salah seorang dari mereka bertanya,

Wahai Rasulullah, kami mendengar engkau mengucapkan aamiin tiga kali. Apa yang terjadi?

Rasulullah saw. kemudian menjelaskan bahwa ketika beliau menaiki mimbar, Jibril datang dan berdoa. Setiap doa yang diucapkan Jibril, Rasulullah SAW mengaminkannya.

  1. Doa Pertama

    شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ رَمَضَانَ، فَانْسَلَخَ مِنْهُ وَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ

    Celakalah seseorang yang mendapatkan bulan Ramadhan, namun Ramadhan berlalu tanpa ia mendapatkan ampunan dari Allah.

    Maka Rasulullah saw. mengucapkan aamiin.

  2. Doa Kedua

    شَقِيَ عَبْدٌ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ

    Celakalah seseorang yang masih memiliki kedua orang tua, atau salah satunya, namun tidak menjadikannya sebagai jalan masuk ke surga.

    Maka Rasulullah saw. mengucapkan aamiin

  3. Doa Ketiga

    شَقِيَ عَبْدٌ ذُكِرْتَ عِنْدَهُ وَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ

    Celakalah seseorang yang mendengar namamu disebut, tetapi ia tidak bershalawat kepadamu.

    Maka Rasulullah saw. mengucapkan aamiin

Hadis di atas mengajarkan kita tentang tiga hal penting dalam kehidupan:

  1. Memanfaatkan Ramadhan sebagai kesempatan emas untuk mendapatkan ampunan Allah.
  2. Berbakti kepada orang tua sebagai jalan menuju surga.
  3. Membiasakan diri bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk kecintaan kepadanya.

1. Pentingnya Memanfaatkan Ramadhan untuk Meraih Ampunan Allah

Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan rahmat dan maghfirah. Allah SWT telah menjadikannya sebagai waktu istimewa di mana pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183)

Namun, banyak orang yang melewatkan bulan ini tanpa meraih ampunan karena lalai dalam ibadah. Mereka hanya menjalankan puasa sebagai rutinitas, tidak meningkatkan amal saleh, dan tetap melakukan perbuatan maksiat.

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

(arang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari & Muslim)

Maka, jika seseorang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan, sungguh ia adalah orang yang sangat merugi.

2. Berbakti kepada Orang Tua sebagai Jalan ke Surga

Orang tua adalah anugerah yang besar dalam hidup kita. Rasulullah saw. bersabda:

رِضَا اللَّهِ فِي رِضَا الْوَالِدِ وَسَخَطُ اللَّهِ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ

Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka orang tua. (HR. Tirmidzi)

Berbakti kepada orang tua tidak hanya dengan memberi nafkah, tetapi juga dengan berkata lembut, menjaga perasaan mereka, dan selalu mendoakan mereka. Jika seseorang masih memiliki orang tua tetapi tidak berbakti kepada mereka, maka ia telah menyia-nyiakan pintu surga yang ada di hadapannya.

Rasulullah SAW bersabda:

الْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ أَوِ احْفَظْهُ

Orang tua adalah pintu surga yang paling tengah. Jika engkau mau, sia-siakanlah pintu itu, atau jika engkau mau, jagalah ia. (HR. Tirmidzi)

Jika orang tua masih hidup, perbanyaklah berbakti. Jika mereka telah tiada, tetaplah mendoakan mereka dan bersedekah atas nama mereka.

3. Keutamaan Bershalawat kepada Nabi Muhammad saw

Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepadanya dan ucapkanlah salam penghormatan. (QS. Al-Ahzab: 56)

Namun, ada orang yang ketika mendengar nama Rasulullah saw. disebut, ia tidak bershalawat. Ini menunjukkan kurangnya rasa cinta kepada beliau.

Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا

Barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali lipat. (HR. Muslim)

Oleh karena itu, biasakanlah bershalawat setiap kali mendengar nama Rasulullah saw. disebut sebagai bentuk penghormatan dan kecintaan kepada beliau.

Tiga doa ini menjadi pengingat besar bagi kita semua:

  1. Jangan sia-siakan Ramadhan, gunakan untuk beribadah dan meraih ampunan Allah.
  2. Berbakti kepada orang tua, karena mereka adalah pintu surga bagi kita.
  3. Selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai tanda cinta dan penghormatan kita kepada beliau.

Semoga kita semua terhindar dari doa kecelakaan ini dan menjadi hamba yang mendapatkan rahmat Allah SWT.

06 Maret 2025


Kebahagiaan adalah dambaan setiap manusia, tetapi tidak semua orang memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada harta, jabatan, atau hal-hal duniawi semata. Kebahagiaan yang hakiki berasal dari hati yang tenang dan penuh rasa syukur kepada Allah SWT. Al-Qur'an menjelaskan bahwa ketenangan hati hanya bisa didapatkan dengan mengingat Allah, sebagaimana firman-Nya:

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28).

Hadis Nabi Muhammad SAW juga menegaskan bahwa kekayaan yang sejati bukanlah banyaknya harta, tetapi hati yang merasa cukup. Rasulullah bersabda:

"Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang sebenarnya) adalah kekayaan hati." (HR. Bukhari dan Muslim).

Para ulama pun menasihatkan bahwa kebahagiaan sejati ada dalam hati yang bersih, ridha dengan ketentuan Allah, dan menjauhi sifat tamak. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menekankan bahwa kebahagiaan tidak akan pernah dicapai oleh orang yang hatinya dipenuhi dengan kecintaan terhadap dunia, sebab dunia hanya memberikan kesenangan sementara.

Begitu pula dengan Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang mengatakan bahwa kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam tiga hal: rasa syukur atas nikmat Allah, kesabaran dalam menghadapi ujian, dan istighfar atas dosa-dosa yang telah lalu. Dengan tiga hal ini, seseorang akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan yang tidak bergantung pada kondisi luar.

Oleh karena itu, untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, kita harus memperbaiki hati kita dengan selalu mengingat Allah, bersyukur atas nikmat yang diberikan, serta menerima segala ketentuan-Nya dengan lapang dada. Dunia hanyalah tempat persinggahan, sedangkan kebahagiaan yang hakiki adalah ketika hati kita selalu dekat dengan Allah dan merasa cukup dengan apa yang diberikan-Nya.

Kebahagiaan Itu di Hati


Kebahagiaan adalah dambaan setiap manusia, tetapi tidak semua orang memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada harta, jabatan, atau hal-hal duniawi semata. Kebahagiaan yang hakiki berasal dari hati yang tenang dan penuh rasa syukur kepada Allah SWT. Al-Qur'an menjelaskan bahwa ketenangan hati hanya bisa didapatkan dengan mengingat Allah, sebagaimana firman-Nya:

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28).

Hadis Nabi Muhammad SAW juga menegaskan bahwa kekayaan yang sejati bukanlah banyaknya harta, tetapi hati yang merasa cukup. Rasulullah bersabda:

"Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang sebenarnya) adalah kekayaan hati." (HR. Bukhari dan Muslim).

Para ulama pun menasihatkan bahwa kebahagiaan sejati ada dalam hati yang bersih, ridha dengan ketentuan Allah, dan menjauhi sifat tamak. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menekankan bahwa kebahagiaan tidak akan pernah dicapai oleh orang yang hatinya dipenuhi dengan kecintaan terhadap dunia, sebab dunia hanya memberikan kesenangan sementara.

Begitu pula dengan Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang mengatakan bahwa kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam tiga hal: rasa syukur atas nikmat Allah, kesabaran dalam menghadapi ujian, dan istighfar atas dosa-dosa yang telah lalu. Dengan tiga hal ini, seseorang akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan yang tidak bergantung pada kondisi luar.

Oleh karena itu, untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, kita harus memperbaiki hati kita dengan selalu mengingat Allah, bersyukur atas nikmat yang diberikan, serta menerima segala ketentuan-Nya dengan lapang dada. Dunia hanyalah tempat persinggahan, sedangkan kebahagiaan yang hakiki adalah ketika hati kita selalu dekat dengan Allah dan merasa cukup dengan apa yang diberikan-Nya.

01 Maret 2025


Apakah Menyusui Membatalkan Puasa?

Menyusui tidak membatalkan puasa. Hal-hal yang membatalkan puasa dalam Islam meliputi makan, minum, berhubungan suami istri secara sengaja di siang hari, muntah dengan sengaja, haid atau nifas, serta hal-hal lain yang telah ditetapkan dalam syariat. Menyusui tidak termasuk dalam hal-hal yang membatalkan puasa.

Bolehkah Wanita Menyusui Tidak Berpuasa?

Wwanita yang menyusui diperbolehkan tidak berpuasa jika ia khawatir bahwa puasa akan membahayakan dirinya atau bayinya. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw:

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ المُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ المُسَافِرِ وَالحَامِلِ وَالمُرْضِعِ الصَّوْمَ

Sesungguhnya Allah telah meringankan separuh shalat bagi musafir, dan membebaskan puasa bagi musafir, wanita hamil, serta wanita menyusui.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani)

Bagaimana Mengganti Puasa yang Ditinggalkan?

Jika seorang ibu menyusui tidak berpuasa, ada dua pendapat mengenai cara menggantinya:

  1. Qadha (mengganti puasa di hari lain) – Jika ia hanya khawatir terhadap dirinya sendiri, maka wajib mengganti puasanya setelah Ramadhan.
  2. Membayar Fidyah (memberi makan orang miskin) – Jika ia khawatir terhadap bayinya, menurut sebagian ulama seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, cukup membayar fidyah tanpa perlu qadha.
  3. Qadha + Fidyah – Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa jika kekhawatirannya terhadap bayi, maka ia wajib mengqadha dan membayar fidyah.

Namun, jika seorang ibu merasa mampu berpuasa tanpa membahayakan dirinya dan bayinya, maka tetap lebih utama untuk berpuasa.

Jadi, menyusui tidak membatalkan puasa, dan wanita menyusui boleh tidak berpuasa jika ada kekhawatiran bagi dirinya atau bayinya, dengan ketentuan mengganti puasa atau membayar fidyah sesuai dengan pendapat ulama.

Apakah Menyusui Membatalkan Puasa? Bolehkah Wanita Menyusui Tidak Berpuasa?


Apakah Menyusui Membatalkan Puasa?

Menyusui tidak membatalkan puasa. Hal-hal yang membatalkan puasa dalam Islam meliputi makan, minum, berhubungan suami istri secara sengaja di siang hari, muntah dengan sengaja, haid atau nifas, serta hal-hal lain yang telah ditetapkan dalam syariat. Menyusui tidak termasuk dalam hal-hal yang membatalkan puasa.

Bolehkah Wanita Menyusui Tidak Berpuasa?

Wwanita yang menyusui diperbolehkan tidak berpuasa jika ia khawatir bahwa puasa akan membahayakan dirinya atau bayinya. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw:

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ المُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ المُسَافِرِ وَالحَامِلِ وَالمُرْضِعِ الصَّوْمَ

Sesungguhnya Allah telah meringankan separuh shalat bagi musafir, dan membebaskan puasa bagi musafir, wanita hamil, serta wanita menyusui.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani)

Bagaimana Mengganti Puasa yang Ditinggalkan?

Jika seorang ibu menyusui tidak berpuasa, ada dua pendapat mengenai cara menggantinya:

  1. Qadha (mengganti puasa di hari lain) – Jika ia hanya khawatir terhadap dirinya sendiri, maka wajib mengganti puasanya setelah Ramadhan.
  2. Membayar Fidyah (memberi makan orang miskin) – Jika ia khawatir terhadap bayinya, menurut sebagian ulama seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, cukup membayar fidyah tanpa perlu qadha.
  3. Qadha + Fidyah – Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa jika kekhawatirannya terhadap bayi, maka ia wajib mengqadha dan membayar fidyah.

Namun, jika seorang ibu merasa mampu berpuasa tanpa membahayakan dirinya dan bayinya, maka tetap lebih utama untuk berpuasa.

Jadi, menyusui tidak membatalkan puasa, dan wanita menyusui boleh tidak berpuasa jika ada kekhawatiran bagi dirinya atau bayinya, dengan ketentuan mengganti puasa atau membayar fidyah sesuai dengan pendapat ulama.

28 Februari 2025

Keutamaan Ramadhan dan Cara Memaksimalkannya

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, was shalatu was salamu ‘ala asyrafil anbiya’i wal mursalin, wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.

Hadirin rahimakumullah,

Kita bersyukur kepada Allah karena masih diberikan kesempatan bertemu dengan bulan yang penuh berkah, yaitu bulan Ramadhan. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mengingatkan kita bahwa Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga kesempatan untuk menghapus dosa-dosa dan memperbaiki diri. Oleh karena itu, bagaimana cara kita memaksimalkan bulan yang mulia ini?

1. Menjaga Shalat Wajib dan Memperbanyak Ibadah Sunnah

Ramadhan adalah saat terbaik untuk meningkatkan ibadah. Jangan sampai kita hanya fokus pada puasa, tetapi lalai dalam shalat. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Amalan pertama yang akan dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya."
(HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Selain shalat wajib, kita juga dianjurkan untuk memperbanyak shalat sunnah seperti shalat tarawih, tahajud, dan witir.

2. Memperbanyak Tilawah Al-Qur'an

Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur'an. Maka, kita dianjurkan untuk memperbanyak membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Qur'an. Para ulama terdahulu bahkan mengkhatamkan Al-Qur'an berkali-kali dalam sebulan.

Allah berfirman:

"Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia..."
(QS. Al-Baqarah: 185)

Jadikan Al-Qur'an sebagai teman akrab kita selama Ramadhan.

3. Menjaga Lisan dan Hati

Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang buruk. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak butuh dengan puasanya dari makan dan minum."
(HR. Bukhari)

Maka, mari kita jaga lisan dan hati dari ghibah, fitnah, dan kebencian.

4. Memperbanyak Sedekah dan Kebaikan

Salah satu amal utama di bulan Ramadhan adalah bersedekah. Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling dermawan, dan di bulan Ramadhan, kedermawanan beliau semakin meningkat.

Dalam hadis disebutkan:

"Barang siapa yang memberi makan kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang tersebut sedikit pun."
(HR. Tirmidzi)

Maka, perbanyaklah sedekah, membantu orang lain, dan berbagi kebaikan.

5. Berdoa dan Memohon Ampunan

Ramadhan adalah bulan penuh rahmat, maghfirah, dan pembebasan dari api neraka. Ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu Lailatul Qadar. Rasulullah ﷺ mengajarkan doa berikut:

"Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni."
(Ya Allah, Engkau Maha Pengampun, mencintai ampunan, maka ampunilah aku.)
(HR. Tirmidzi)

Jangan sia-siakan kesempatan ini untuk memperbanyak doa dan istighfar.

Penutup

Hadirin sekalian, Ramadhan adalah kesempatan emas yang tidak boleh kita sia-siakan. Mari kita gunakan bulan ini untuk mendekatkan diri kepada Allah, meningkatkan ibadah, memperbanyak sedekah, dan menjaga lisan serta hati. Semoga kita termasuk hamba yang mendapatkan keberkahan dan ampunan Allah.

Akhirnya, semoga Allah menerima ibadah kita dan mempertemukan kita kembali dengan Ramadhan di tahun-tahun mendatang. Aamiin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Keutamaan Ramadhan dan Cara Memaksimalkannya

Keutamaan Ramadhan dan Cara Memaksimalkannya

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, was shalatu was salamu ‘ala asyrafil anbiya’i wal mursalin, wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.

Hadirin rahimakumullah,

Kita bersyukur kepada Allah karena masih diberikan kesempatan bertemu dengan bulan yang penuh berkah, yaitu bulan Ramadhan. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mengingatkan kita bahwa Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga kesempatan untuk menghapus dosa-dosa dan memperbaiki diri. Oleh karena itu, bagaimana cara kita memaksimalkan bulan yang mulia ini?

1. Menjaga Shalat Wajib dan Memperbanyak Ibadah Sunnah

Ramadhan adalah saat terbaik untuk meningkatkan ibadah. Jangan sampai kita hanya fokus pada puasa, tetapi lalai dalam shalat. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Amalan pertama yang akan dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya."
(HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Selain shalat wajib, kita juga dianjurkan untuk memperbanyak shalat sunnah seperti shalat tarawih, tahajud, dan witir.

2. Memperbanyak Tilawah Al-Qur'an

Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur'an. Maka, kita dianjurkan untuk memperbanyak membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Qur'an. Para ulama terdahulu bahkan mengkhatamkan Al-Qur'an berkali-kali dalam sebulan.

Allah berfirman:

"Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia..."
(QS. Al-Baqarah: 185)

Jadikan Al-Qur'an sebagai teman akrab kita selama Ramadhan.

3. Menjaga Lisan dan Hati

Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang buruk. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak butuh dengan puasanya dari makan dan minum."
(HR. Bukhari)

Maka, mari kita jaga lisan dan hati dari ghibah, fitnah, dan kebencian.

4. Memperbanyak Sedekah dan Kebaikan

Salah satu amal utama di bulan Ramadhan adalah bersedekah. Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling dermawan, dan di bulan Ramadhan, kedermawanan beliau semakin meningkat.

Dalam hadis disebutkan:

"Barang siapa yang memberi makan kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang tersebut sedikit pun."
(HR. Tirmidzi)

Maka, perbanyaklah sedekah, membantu orang lain, dan berbagi kebaikan.

5. Berdoa dan Memohon Ampunan

Ramadhan adalah bulan penuh rahmat, maghfirah, dan pembebasan dari api neraka. Ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu Lailatul Qadar. Rasulullah ﷺ mengajarkan doa berikut:

"Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni."
(Ya Allah, Engkau Maha Pengampun, mencintai ampunan, maka ampunilah aku.)
(HR. Tirmidzi)

Jangan sia-siakan kesempatan ini untuk memperbanyak doa dan istighfar.

Penutup

Hadirin sekalian, Ramadhan adalah kesempatan emas yang tidak boleh kita sia-siakan. Mari kita gunakan bulan ini untuk mendekatkan diri kepada Allah, meningkatkan ibadah, memperbanyak sedekah, dan menjaga lisan serta hati. Semoga kita termasuk hamba yang mendapatkan keberkahan dan ampunan Allah.

Akhirnya, semoga Allah menerima ibadah kita dan mempertemukan kita kembali dengan Ramadhan di tahun-tahun mendatang. Aamiin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

25 Februari 2025

Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu aspek penting dalam sistem demokrasi yang bertujuan untuk mewujudkan kepemimpinan yang adil dan amanah. Namun, tidak jarang terjadi dinamika yang menyebabkan perlunya dilakukan pemilihan suara ulang (PSU), seperti yang pernah terjadi dalam pemilihan kepala daerah. Dari perspektif Islam, berbagai hikmah dapat diambil dari peristiwa ini sebagai pelajaran dalam kehidupan sosial dan politik.

Keadilan dan Kejujuran dalam Pemilihan
Islam sangat menekankan pentingnya keadilan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam memilih pemimpin. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:

وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ

Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabatmu. (QS. Al-An'am: 152)

Pemilihan suara ulang seringkali dilakukan karena adanya indikasi ketidakjujuran atau pelanggaran yang dapat merugikan salah satu pihak. Dalam Islam, kejujuran adalah prinsip utama dalam kehidupan berpolitik. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّىٰ يُكْتَبَ عِندَ اللَّهِ صِدِّيقًا

Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa berkata jujur akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. (HR. Bukhari dan Muslim)


Menjaga Hak Suara Rakyat
Dalam Islam, memilih pemimpin adalah amanah yang harus dijaga. Pemilihan suara ulang memberikan kesempatan bagi rakyat untuk menyalurkan hak pilihnya secara lebih adil dan transparan. Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (QS. An-Nisa': 58)

Dengan demikian, PSU bukan hanya menjadi sarana untuk memperbaiki proses pemilihan yang cacat, tetapi juga memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar mendapat legitimasi dari rakyat secara sah.

Ujian Kesabaran dan Kedewasaan Politik
Peristiwa PSU juga dapat dipandang sebagai ujian bagi semua pihak, baik penyelenggara pemilu, kandidat, maupun masyarakat. Islam mengajarkan bahwa ujian dan cobaan adalah bagian dari kehidupan yang harus dihadapi dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Allah berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.  (QS. Al-Baqarah: 155)

Dalam konteks pemilihan ulang, semua pihak harus bersikap dewasa, menerima keputusan dengan lapang dada, dan tetap menjunjung tinggi persaudaraan serta persatuan.

Menjauhkan Diri dari Kecurangan
Salah satu penyebab diadakannya PSU adalah adanya kecurangan atau ketidakberesan dalam proses pemilihan sebelumnya. Islam sangat melarang segala bentuk kecurangan karena dapat merusak keadilan dan merugikan banyak pihak. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

Barang siapa menipu kami, maka ia bukan termasuk golongan kami. (HR. Muslim)

Dengan adanya PSU, diharapkan masyarakat dan penyelenggara pemilu semakin sadar akan pentingnya menjalankan pemilu dengan jujur dan adil, serta menjauhi segala bentuk manipulasi demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

Hikmah di Balik Pemilihan Suara Ulang kepala daerah dalam Perspektif Islam

Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu aspek penting dalam sistem demokrasi yang bertujuan untuk mewujudkan kepemimpinan yang adil dan amanah. Namun, tidak jarang terjadi dinamika yang menyebabkan perlunya dilakukan pemilihan suara ulang (PSU), seperti yang pernah terjadi dalam pemilihan kepala daerah. Dari perspektif Islam, berbagai hikmah dapat diambil dari peristiwa ini sebagai pelajaran dalam kehidupan sosial dan politik.

Keadilan dan Kejujuran dalam Pemilihan
Islam sangat menekankan pentingnya keadilan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam memilih pemimpin. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:

وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ

Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabatmu. (QS. Al-An'am: 152)

Pemilihan suara ulang seringkali dilakukan karena adanya indikasi ketidakjujuran atau pelanggaran yang dapat merugikan salah satu pihak. Dalam Islam, kejujuran adalah prinsip utama dalam kehidupan berpolitik. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّىٰ يُكْتَبَ عِندَ اللَّهِ صِدِّيقًا

Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa berkata jujur akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. (HR. Bukhari dan Muslim)


Menjaga Hak Suara Rakyat
Dalam Islam, memilih pemimpin adalah amanah yang harus dijaga. Pemilihan suara ulang memberikan kesempatan bagi rakyat untuk menyalurkan hak pilihnya secara lebih adil dan transparan. Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (QS. An-Nisa': 58)

Dengan demikian, PSU bukan hanya menjadi sarana untuk memperbaiki proses pemilihan yang cacat, tetapi juga memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar mendapat legitimasi dari rakyat secara sah.

Ujian Kesabaran dan Kedewasaan Politik
Peristiwa PSU juga dapat dipandang sebagai ujian bagi semua pihak, baik penyelenggara pemilu, kandidat, maupun masyarakat. Islam mengajarkan bahwa ujian dan cobaan adalah bagian dari kehidupan yang harus dihadapi dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Allah berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.  (QS. Al-Baqarah: 155)

Dalam konteks pemilihan ulang, semua pihak harus bersikap dewasa, menerima keputusan dengan lapang dada, dan tetap menjunjung tinggi persaudaraan serta persatuan.

Menjauhkan Diri dari Kecurangan
Salah satu penyebab diadakannya PSU adalah adanya kecurangan atau ketidakberesan dalam proses pemilihan sebelumnya. Islam sangat melarang segala bentuk kecurangan karena dapat merusak keadilan dan merugikan banyak pihak. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

Barang siapa menipu kami, maka ia bukan termasuk golongan kami. (HR. Muslim)

Dengan adanya PSU, diharapkan masyarakat dan penyelenggara pemilu semakin sadar akan pentingnya menjalankan pemilu dengan jujur dan adil, serta menjauhi segala bentuk manipulasi demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

21 Februari 2025

Orang yang Salat tetapi Lalai dari Salatnya

Salat merupakan ibadah yang memiliki kedudukan utama dalam Islam. Ia adalah tiang agama dan menjadi sarana komunikasi langsung antara seorang hamba dengan Allah. Namun, tidak semua orang yang melaksanakan salat benar-benar menjaganya dengan penuh kesadaran dan kekhusyukan. Dalam Al-Qur'an, Allah memberikan peringatan kepada orang-orang yang lalai dalam salatnya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ۝ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka celakalah orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya. (QS. Al-Ma’un: 4-5)

Ayat ini menunjukkan bahwa ada orang yang tetap melaksanakan salat, tetapi mereka tidak mendapatkan keberkahan dari ibadahnya karena lalai dalam pelaksanaannya. Bentuk kelalaian ini bisa bermacam-macam. Salah satunya adalah menunda-nunda waktu salat tanpa alasan yang mendesak, sehingga baru melaksanakan salat ketika waktu hampir habis.

Selain itu, ada pula orang yang menjalankan salat tanpa menghadirkan hati, sehingga salatnya hanya berupa gerakan fisik tanpa penghayatan makna. Mereka melaksanakan salat hanya sebagai rutinitas dan sekadar menggugurkan kewajiban. Akibatnya, mereka tidak menjaga rukun dan syarat salat dengan baik, sering terburu-buru dalam gerakan, serta tidak membaca bacaan salat dengan benar.

Lebih dari itu, ada orang yang melakukan salat dengan niat riya', yaitu untuk mendapatkan pujian atau menjaga citra diri di hadapan manusia. Rasulullah ﷺ telah memperingatkan tentang bahaya riya’ dalam ibadah:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ

Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil." Mereka bertanya, 'Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Riya’ (HR. Ahmad)

Kelalaian lain yang sering terjadi adalah ketika seseorang tidak memahami bacaan dan doa dalam salatnya. Padahal, memahami makna bacaan dapat membantu seseorang untuk lebih khusyuk dan merasakan kedekatan dengan Allah. Jika salat dilakukan tanpa penghayatan, maka tujuan salat sebagai pencegah perbuatan keji dan mungkar tidak akan tercapai, sebagaimana firman Allah:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ

"Sesungguhnya salat mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar..." (QS. Al-Ankabut: 45)

Para ulama tafsir, seperti Ibnu Katsir dan Al-Jalalain, menjelaskan bahwa ancaman bagi orang yang lalai dalam salatnya sangat berat. Kata "ويل" (wail) dalam Surah Al-Ma’un merujuk pada lembah di neraka yang disediakan bagi mereka yang meremehkan salat. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin juga menekankan bahwa kekhusyukan dalam salat adalah faktor utama yang membedakan antara salat yang diterima dan yang hanya menjadi ritual kosong tanpa makna.

Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya senantiasa berusaha untuk memperbaiki kualitas salatnya. Salat bukan sekadar kewajiban yang harus ditunaikan, tetapi juga merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh kesadaran, khusyuk, dan ketaatan. Dengan menjaga salat dengan baik, seorang hamba akan mendapatkan manfaat besar, baik di dunia maupun di akhirat.

Orang yang Salat tetapi Lalai dari Salatnya

Orang yang Salat tetapi Lalai dari Salatnya

Salat merupakan ibadah yang memiliki kedudukan utama dalam Islam. Ia adalah tiang agama dan menjadi sarana komunikasi langsung antara seorang hamba dengan Allah. Namun, tidak semua orang yang melaksanakan salat benar-benar menjaganya dengan penuh kesadaran dan kekhusyukan. Dalam Al-Qur'an, Allah memberikan peringatan kepada orang-orang yang lalai dalam salatnya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ۝ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka celakalah orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya. (QS. Al-Ma’un: 4-5)

Ayat ini menunjukkan bahwa ada orang yang tetap melaksanakan salat, tetapi mereka tidak mendapatkan keberkahan dari ibadahnya karena lalai dalam pelaksanaannya. Bentuk kelalaian ini bisa bermacam-macam. Salah satunya adalah menunda-nunda waktu salat tanpa alasan yang mendesak, sehingga baru melaksanakan salat ketika waktu hampir habis.

Selain itu, ada pula orang yang menjalankan salat tanpa menghadirkan hati, sehingga salatnya hanya berupa gerakan fisik tanpa penghayatan makna. Mereka melaksanakan salat hanya sebagai rutinitas dan sekadar menggugurkan kewajiban. Akibatnya, mereka tidak menjaga rukun dan syarat salat dengan baik, sering terburu-buru dalam gerakan, serta tidak membaca bacaan salat dengan benar.

Lebih dari itu, ada orang yang melakukan salat dengan niat riya', yaitu untuk mendapatkan pujian atau menjaga citra diri di hadapan manusia. Rasulullah ﷺ telah memperingatkan tentang bahaya riya’ dalam ibadah:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ

Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil." Mereka bertanya, 'Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Riya’ (HR. Ahmad)

Kelalaian lain yang sering terjadi adalah ketika seseorang tidak memahami bacaan dan doa dalam salatnya. Padahal, memahami makna bacaan dapat membantu seseorang untuk lebih khusyuk dan merasakan kedekatan dengan Allah. Jika salat dilakukan tanpa penghayatan, maka tujuan salat sebagai pencegah perbuatan keji dan mungkar tidak akan tercapai, sebagaimana firman Allah:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ

"Sesungguhnya salat mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar..." (QS. Al-Ankabut: 45)

Para ulama tafsir, seperti Ibnu Katsir dan Al-Jalalain, menjelaskan bahwa ancaman bagi orang yang lalai dalam salatnya sangat berat. Kata "ويل" (wail) dalam Surah Al-Ma’un merujuk pada lembah di neraka yang disediakan bagi mereka yang meremehkan salat. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin juga menekankan bahwa kekhusyukan dalam salat adalah faktor utama yang membedakan antara salat yang diterima dan yang hanya menjadi ritual kosong tanpa makna.

Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya senantiasa berusaha untuk memperbaiki kualitas salatnya. Salat bukan sekadar kewajiban yang harus ditunaikan, tetapi juga merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh kesadaran, khusyuk, dan ketaatan. Dengan menjaga salat dengan baik, seorang hamba akan mendapatkan manfaat besar, baik di dunia maupun di akhirat.