Tampilkan postingan dengan label Islami. Tampilkan semua postingan

06 Maret 2025

thumbnail

Kebahagiaan Itu di Hati


Kebahagiaan adalah dambaan setiap manusia, tetapi tidak semua orang memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada harta, jabatan, atau hal-hal duniawi semata. Kebahagiaan yang hakiki berasal dari hati yang tenang dan penuh rasa syukur kepada Allah SWT. Al-Qur'an menjelaskan bahwa ketenangan hati hanya bisa didapatkan dengan mengingat Allah, sebagaimana firman-Nya:

"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra'd: 28).

Hadis Nabi Muhammad SAW juga menegaskan bahwa kekayaan yang sejati bukanlah banyaknya harta, tetapi hati yang merasa cukup. Rasulullah bersabda:

"Bukanlah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan (yang sebenarnya) adalah kekayaan hati." (HR. Bukhari dan Muslim).

Para ulama pun menasihatkan bahwa kebahagiaan sejati ada dalam hati yang bersih, ridha dengan ketentuan Allah, dan menjauhi sifat tamak. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menekankan bahwa kebahagiaan tidak akan pernah dicapai oleh orang yang hatinya dipenuhi dengan kecintaan terhadap dunia, sebab dunia hanya memberikan kesenangan sementara.

Begitu pula dengan Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang mengatakan bahwa kebahagiaan sejati dapat ditemukan dalam tiga hal: rasa syukur atas nikmat Allah, kesabaran dalam menghadapi ujian, dan istighfar atas dosa-dosa yang telah lalu. Dengan tiga hal ini, seseorang akan merasakan ketenangan dan kebahagiaan yang tidak bergantung pada kondisi luar.

Oleh karena itu, untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, kita harus memperbaiki hati kita dengan selalu mengingat Allah, bersyukur atas nikmat yang diberikan, serta menerima segala ketentuan-Nya dengan lapang dada. Dunia hanyalah tempat persinggahan, sedangkan kebahagiaan yang hakiki adalah ketika hati kita selalu dekat dengan Allah dan merasa cukup dengan apa yang diberikan-Nya.

01 Maret 2025

thumbnail

Apakah Menyusui Membatalkan Puasa? Bolehkah Wanita Menyusui Tidak Berpuasa?


Apakah Menyusui Membatalkan Puasa?

Menyusui tidak membatalkan puasa. Hal-hal yang membatalkan puasa dalam Islam meliputi makan, minum, berhubungan suami istri secara sengaja di siang hari, muntah dengan sengaja, haid atau nifas, serta hal-hal lain yang telah ditetapkan dalam syariat. Menyusui tidak termasuk dalam hal-hal yang membatalkan puasa.

Bolehkah Wanita Menyusui Tidak Berpuasa?

Wwanita yang menyusui diperbolehkan tidak berpuasa jika ia khawatir bahwa puasa akan membahayakan dirinya atau bayinya. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw:

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ المُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ المُسَافِرِ وَالحَامِلِ وَالمُرْضِعِ الصَّوْمَ

Sesungguhnya Allah telah meringankan separuh shalat bagi musafir, dan membebaskan puasa bagi musafir, wanita hamil, serta wanita menyusui.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani)

Bagaimana Mengganti Puasa yang Ditinggalkan?

Jika seorang ibu menyusui tidak berpuasa, ada dua pendapat mengenai cara menggantinya:

  1. Qadha (mengganti puasa di hari lain) – Jika ia hanya khawatir terhadap dirinya sendiri, maka wajib mengganti puasanya setelah Ramadhan.
  2. Membayar Fidyah (memberi makan orang miskin) – Jika ia khawatir terhadap bayinya, menurut sebagian ulama seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, cukup membayar fidyah tanpa perlu qadha.
  3. Qadha + Fidyah – Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa jika kekhawatirannya terhadap bayi, maka ia wajib mengqadha dan membayar fidyah.

Namun, jika seorang ibu merasa mampu berpuasa tanpa membahayakan dirinya dan bayinya, maka tetap lebih utama untuk berpuasa.

Jadi, menyusui tidak membatalkan puasa, dan wanita menyusui boleh tidak berpuasa jika ada kekhawatiran bagi dirinya atau bayinya, dengan ketentuan mengganti puasa atau membayar fidyah sesuai dengan pendapat ulama.

28 Februari 2025

thumbnail

Keutamaan Ramadhan dan Cara Memaksimalkannya

Keutamaan Ramadhan dan Cara Memaksimalkannya

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, was shalatu was salamu ‘ala asyrafil anbiya’i wal mursalin, wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.

Hadirin rahimakumullah,

Kita bersyukur kepada Allah karena masih diberikan kesempatan bertemu dengan bulan yang penuh berkah, yaitu bulan Ramadhan. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu."
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mengingatkan kita bahwa Ramadhan bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga kesempatan untuk menghapus dosa-dosa dan memperbaiki diri. Oleh karena itu, bagaimana cara kita memaksimalkan bulan yang mulia ini?

1. Menjaga Shalat Wajib dan Memperbanyak Ibadah Sunnah

Ramadhan adalah saat terbaik untuk meningkatkan ibadah. Jangan sampai kita hanya fokus pada puasa, tetapi lalai dalam shalat. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Amalan pertama yang akan dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya."
(HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Selain shalat wajib, kita juga dianjurkan untuk memperbanyak shalat sunnah seperti shalat tarawih, tahajud, dan witir.

2. Memperbanyak Tilawah Al-Qur'an

Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qur'an. Maka, kita dianjurkan untuk memperbanyak membaca, memahami, dan mengamalkan Al-Qur'an. Para ulama terdahulu bahkan mengkhatamkan Al-Qur'an berkali-kali dalam sebulan.

Allah berfirman:

"Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia..."
(QS. Al-Baqarah: 185)

Jadikan Al-Qur'an sebagai teman akrab kita selama Ramadhan.

3. Menjaga Lisan dan Hati

Puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang buruk. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan buruk, maka Allah tidak butuh dengan puasanya dari makan dan minum."
(HR. Bukhari)

Maka, mari kita jaga lisan dan hati dari ghibah, fitnah, dan kebencian.

4. Memperbanyak Sedekah dan Kebaikan

Salah satu amal utama di bulan Ramadhan adalah bersedekah. Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling dermawan, dan di bulan Ramadhan, kedermawanan beliau semakin meningkat.

Dalam hadis disebutkan:

"Barang siapa yang memberi makan kepada orang yang berpuasa, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang tersebut sedikit pun."
(HR. Tirmidzi)

Maka, perbanyaklah sedekah, membantu orang lain, dan berbagi kebaikan.

5. Berdoa dan Memohon Ampunan

Ramadhan adalah bulan penuh rahmat, maghfirah, dan pembebasan dari api neraka. Ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, yaitu Lailatul Qadar. Rasulullah ﷺ mengajarkan doa berikut:

"Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anni."
(Ya Allah, Engkau Maha Pengampun, mencintai ampunan, maka ampunilah aku.)
(HR. Tirmidzi)

Jangan sia-siakan kesempatan ini untuk memperbanyak doa dan istighfar.

Penutup

Hadirin sekalian, Ramadhan adalah kesempatan emas yang tidak boleh kita sia-siakan. Mari kita gunakan bulan ini untuk mendekatkan diri kepada Allah, meningkatkan ibadah, memperbanyak sedekah, dan menjaga lisan serta hati. Semoga kita termasuk hamba yang mendapatkan keberkahan dan ampunan Allah.

Akhirnya, semoga Allah menerima ibadah kita dan mempertemukan kita kembali dengan Ramadhan di tahun-tahun mendatang. Aamiin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

25 Februari 2025

thumbnail

Hikmah di Balik Pemilihan Suara Ulang kepala daerah dalam Perspektif Islam

Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu aspek penting dalam sistem demokrasi yang bertujuan untuk mewujudkan kepemimpinan yang adil dan amanah. Namun, tidak jarang terjadi dinamika yang menyebabkan perlunya dilakukan pemilihan suara ulang (PSU), seperti yang pernah terjadi dalam pemilihan kepala daerah. Dari perspektif Islam, berbagai hikmah dapat diambil dari peristiwa ini sebagai pelajaran dalam kehidupan sosial dan politik.

Keadilan dan Kejujuran dalam Pemilihan
Islam sangat menekankan pentingnya keadilan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam memilih pemimpin. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman:

وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ

Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabatmu. (QS. Al-An'am: 152)

Pemilihan suara ulang seringkali dilakukan karena adanya indikasi ketidakjujuran atau pelanggaran yang dapat merugikan salah satu pihak. Dalam Islam, kejujuran adalah prinsip utama dalam kehidupan berpolitik. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّىٰ يُكْتَبَ عِندَ اللَّهِ صِدِّيقًا

Sesungguhnya kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa berkata jujur akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. (HR. Bukhari dan Muslim)


Menjaga Hak Suara Rakyat
Dalam Islam, memilih pemimpin adalah amanah yang harus dijaga. Pemilihan suara ulang memberikan kesempatan bagi rakyat untuk menyalurkan hak pilihnya secara lebih adil dan transparan. Allah berfirman:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (QS. An-Nisa': 58)

Dengan demikian, PSU bukan hanya menjadi sarana untuk memperbaiki proses pemilihan yang cacat, tetapi juga memastikan bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar mendapat legitimasi dari rakyat secara sah.

Ujian Kesabaran dan Kedewasaan Politik
Peristiwa PSU juga dapat dipandang sebagai ujian bagi semua pihak, baik penyelenggara pemilu, kandidat, maupun masyarakat. Islam mengajarkan bahwa ujian dan cobaan adalah bagian dari kehidupan yang harus dihadapi dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Allah berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.  (QS. Al-Baqarah: 155)

Dalam konteks pemilihan ulang, semua pihak harus bersikap dewasa, menerima keputusan dengan lapang dada, dan tetap menjunjung tinggi persaudaraan serta persatuan.

Menjauhkan Diri dari Kecurangan
Salah satu penyebab diadakannya PSU adalah adanya kecurangan atau ketidakberesan dalam proses pemilihan sebelumnya. Islam sangat melarang segala bentuk kecurangan karena dapat merusak keadilan dan merugikan banyak pihak. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

Barang siapa menipu kami, maka ia bukan termasuk golongan kami. (HR. Muslim)

Dengan adanya PSU, diharapkan masyarakat dan penyelenggara pemilu semakin sadar akan pentingnya menjalankan pemilu dengan jujur dan adil, serta menjauhi segala bentuk manipulasi demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

21 Februari 2025

thumbnail

Orang yang Salat tetapi Lalai dari Salatnya

Orang yang Salat tetapi Lalai dari Salatnya

Salat merupakan ibadah yang memiliki kedudukan utama dalam Islam. Ia adalah tiang agama dan menjadi sarana komunikasi langsung antara seorang hamba dengan Allah. Namun, tidak semua orang yang melaksanakan salat benar-benar menjaganya dengan penuh kesadaran dan kekhusyukan. Dalam Al-Qur'an, Allah memberikan peringatan kepada orang-orang yang lalai dalam salatnya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:

فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ۝ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka celakalah orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya. (QS. Al-Ma’un: 4-5)

Ayat ini menunjukkan bahwa ada orang yang tetap melaksanakan salat, tetapi mereka tidak mendapatkan keberkahan dari ibadahnya karena lalai dalam pelaksanaannya. Bentuk kelalaian ini bisa bermacam-macam. Salah satunya adalah menunda-nunda waktu salat tanpa alasan yang mendesak, sehingga baru melaksanakan salat ketika waktu hampir habis.

Selain itu, ada pula orang yang menjalankan salat tanpa menghadirkan hati, sehingga salatnya hanya berupa gerakan fisik tanpa penghayatan makna. Mereka melaksanakan salat hanya sebagai rutinitas dan sekadar menggugurkan kewajiban. Akibatnya, mereka tidak menjaga rukun dan syarat salat dengan baik, sering terburu-buru dalam gerakan, serta tidak membaca bacaan salat dengan benar.

Lebih dari itu, ada orang yang melakukan salat dengan niat riya', yaitu untuk mendapatkan pujian atau menjaga citra diri di hadapan manusia. Rasulullah ﷺ telah memperingatkan tentang bahaya riya’ dalam ibadah:

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ

Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil." Mereka bertanya, 'Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab, 'Riya’ (HR. Ahmad)

Kelalaian lain yang sering terjadi adalah ketika seseorang tidak memahami bacaan dan doa dalam salatnya. Padahal, memahami makna bacaan dapat membantu seseorang untuk lebih khusyuk dan merasakan kedekatan dengan Allah. Jika salat dilakukan tanpa penghayatan, maka tujuan salat sebagai pencegah perbuatan keji dan mungkar tidak akan tercapai, sebagaimana firman Allah:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ

"Sesungguhnya salat mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar..." (QS. Al-Ankabut: 45)

Para ulama tafsir, seperti Ibnu Katsir dan Al-Jalalain, menjelaskan bahwa ancaman bagi orang yang lalai dalam salatnya sangat berat. Kata "ويل" (wail) dalam Surah Al-Ma’un merujuk pada lembah di neraka yang disediakan bagi mereka yang meremehkan salat. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin juga menekankan bahwa kekhusyukan dalam salat adalah faktor utama yang membedakan antara salat yang diterima dan yang hanya menjadi ritual kosong tanpa makna.

Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya senantiasa berusaha untuk memperbaiki kualitas salatnya. Salat bukan sekadar kewajiban yang harus ditunaikan, tetapi juga merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan penuh kesadaran, khusyuk, dan ketaatan. Dengan menjaga salat dengan baik, seorang hamba akan mendapatkan manfaat besar, baik di dunia maupun di akhirat.